Sjafruddin Prawiranegara adalah Presiden yang terlupakan. Begitulah beberapa pihak menyebut sosok yang lahir di Serang, Banten, pada 28 Februari 1911. Maklum, dalam daftar Presiden RI, Sjafruddin tak tercantum meski sempat menjabat Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Pria yang saat kecil akrab disapa kuding ini sempat menjadi pegawai di salah satu radio swasta dan pernah menjadi petugas Departemen Keuangan, baik pada akhir penjajahan Belanda maupun saat Jepang menduduki Indonesia.
Memiliki ayah yang berprofesi sebagai jaksa tak membuat Sjafruddin tertarik untuk mengikuti jejak ayahnya.
Setelah Indonesia merdeka, justru Sjafruddin menjabat di beberapa bidang penting. Tak main-main Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Wakil Perdana Menteri bahkan Perdana Menteri Indoensia.
Saat terjadi Agresi Militer II yang dilancarkan Belanda pada 1948, Sjafruddin dipercaya mengambil alih pemerintahan karena Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta ditangkap oleh Belanda. Namun, pada 13 Juli 1949, Sjafruddin mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno.
Seolah seperti koin, Sjafruddin memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, dia adalah salah satu tokoh kemerdekaan. Di sisilain, dia juga tokoh Pemerintah Revolusioner Rebuplik Indonesia (PRRI) yang sempat memberontak terhadap pemerintah.
Terlepas dari hal itu, Sjafruddin diakui sebagai sosok amanah yang memegang teguh kesetiaan kepada negaranya. Saking setianya, dia bahkan tak membocorkan kebijakan penting kepada istrinya, Tengku Halimah.
Pada 1950-an, Tengku Halimah terkejut saat menerima gaji sang suami. Pasalnya, gaji yang tak seberapa itu harus dipotong setengah. Itu sebagai akibat dari kebijakan menteri keuangan yang tak lain dari suaminya.
Kebijakan itu menggariskan uang di atas Rp5 dipotong menjadi dua alias menjadi hanya setengahnya. Setengah bagian dipinjamkan kepada negara yang saat itu tengah kesulitan dana. Kebijakan kontroversial tersebut dikenal sebagai “Gunting Sjafruddin”. “Kok tidak bilang-bilang?” protes Tengku Halimah. Sjafruddin menjawab, “Kalau bilang-bilang, tidak rahasia, dong!”.
Demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari delapan anaknya, Tengku Halimah pun harus kas bon ke Kementerian Keuangan. Utang itu terus bertambah dan baru bisa dilunasi ketika Sjafruddin menjabat Presiden Direktur De Javasche Bank (Bank Indonesia) pada 1951.
Sumber : Dikutip dari Buku Orange Juice For Integrity : Belajar Integritas Kepada Tokoh Bangsa/Halaman 65-67