Pria kelahiran Trenggalek 27 Maret 1897 bernama Soeprapto. Lahir dikeluarga yang berkecukupan membuat dirinya bisa menamatkan SMAnya di Recht School.
Meskipun ayahnya bekerja di perpajakan Soeprapto tidak memiliki minat untuk melanjutkan langkah ayahnya. Dirinya lebih memilih bidang hukum.
Namun, setelah tamat pada 1920, ia justru memilih langsung berkarier, tak melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Itu sebabnya, ia tak menyandang gelar Meester in de Rechten (Mr).
Kiprah Soeprapto dimulai sebagai pejabat yang diperbantukan di Landraad (Pengadilan untuk Bumiputera) Tulungagung dan Trenggalek pada 1917. Kariernya terus meroket. Sempat bertugas di Surabaya, Semarang, Bandung, hingga Cirebon, Soeprapto akhirnya dipercaya menjabat Jaksa Agung RI pada 1950. Sembilan tahun lamanya Soeprapto berada di posisi tersebut.
Sebagai penghormatan atas keberanian, kecerdasan, dan ketelitiannya, pada 22 Juli 1967, Soeprapto diabadikan dalam bentuk patung setengah badan di Gedung Kejaksaan Agung. Pria yang meninggal di Jakarta pada 2 Desember 1964 itu pun disebut sebagai Bapak Kejaksaan RI.
Sus, demikian panggilan anak kecil bernama Susanto itu. Kegemarannya bermain bola. Ayahnya bernama Soeprapto, seorang jaksa agung.
Suatu hari, Sus bersama kawan-kawannya bermain bola di halaman rumah. Ketika sedang asyik bermain, tendangan Sus meleset dan bola meluncur ke jalan. Bola melesat cepat ke arah sebuah becak yang tengah melucur di jalan. Si pengemudi becak kaget tak alang kepalang dan becak pun terguling. Tiga penumpang yang ada di becak itu babak belur, sementara si pengemudi becak meringis menahan sakit.
Pertengkaran pun terjadi antara si abang becak dan anak-anak. Si abang becak menuduh Sus dkk. menyebabkan kecelakaan hingga penumpangnya terluka. Ia pun meminta ganti rugi. Sus dkk. tak terima. Mereka berkeras tak bersalah karena hanya bermain-main, tak sengaja mengakibatkan kecelakaan.
Pak Prapto yang sedari tadi memerhatikan pertengkaran itu lantas mendatangi mereka dan melerai pertengkaran. Tanpa ragu, ia menyuruh Sus meminta maaf dan membayar ganti rugi kepada si abang becak. Sus juga diharuskan memberikan biaya pengobatan bagi ketiga penumpang becak.
Begitulah kebijakan dan ketegasan Pak Prapto dalam menjunjung hukum. Bukan hanya Sus, sang anak, yang merasakan hal itu. Sederet menteri pun tak lepas dari prinsip itu. Ruslan Abdulgani, Kasman Singodimejo, dan Sumitro Djojohadikusumo adalah beberapa menteri yang sempat diseret ke meja hijau oleh Pak Prapto. Bagi Pak Prapto, tak ada imunitas dalam hukum, tak terkecuali keluarganya dan para pejabat negara.
Sumber : Dikutip dari Buku Orange Juice For Integrity : Belajar Integritas Kepada Tokoh Bangsa/Halaman 71-73